TULISAN SOFTSKILL “ Perjanjian
Baku / Standar yang pasal-pasalnya ditentukan Perjanjian yang diatur didalam BW
dan diluar BW “
DOSEN : IBU YUNNI
YUNIAWATY
NAMA : IMELDA KURNIAWATI
NPM :
23211547
KELAS : 2EB25
FAKULTAS : EKONOMI
JURUSAN : AKUNTANSI
JURUSAN : AKUNTANSI
UNIVERSITAS GUNADARMA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas rahmat dan KaruniaNya saya dapat menyusun tugas yang
berjudul “Perjanjian Baku / Standar yang pasal-pasalnya
ditentukan Perjanjian yang diatur didalam BW dan diluar BW”.
Pada kesempatan ini,
saya dengan penuh kerendahan hati mengucapkan rasa hormat dan terima kasih
kepada Guru Bidang Studi Aspek Hukum dalam Ekonomi , Ibu Yunni Yuniawaty dan
kepada Teman-teman di kelas 2EB25 Universitas Gunadarma.
Penulis berusaha
keras agar pembuatan tulisan ini dapat menambah pengetahuan dan menjadi salah
satu sumber referensi bacaan yang bermanfaat bagi para pembaca.
Akhir kata,
perkenankan penulis mengutip pepatah lama yang berbunyi “Tiada gading yang tak
retak”. Penulis hanya manusia biasa yang menyadari sepenuhnya bahwa penulisan
makalah ini jauh dari sempurna dan untuk itu penulis mohon maaf atas segala
kekurangan yang ada. Penulis selalu terbuka untuk seobyektif mungkin terhadap
segala kritik serta saran yang membangun guna perbaikan tugas ini.
Bekasi, April 2013
(Imelda
Kurniawati)
Standar Kontrak dalam Hukum Perjanjian
Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari
bahasa Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian
yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah
ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat
terhadap ekonomi lemah.
Kontrak baku
menurut Munir Fuadi adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya
salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah
tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu
pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para
pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau
tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak
tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk
menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu
pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah.
Sedangkan menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan
adalah sah jika membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan tidak
seorangpun dibuat menjadi lebih buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks,
suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi
suatu keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi
lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadaan yang memeprburuk.
Menurut Treitel, “freedom of contract” digunakan untuk
merujuk kepada dua asas umum (general principle). Asas umum yang pertama
mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh
diperjanjikan oleh para pihak: asas tersebut tidak membebaskan berlakunya
syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut
kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Jadi ruang lingkup asas kebebasan
berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi
perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya seseorang
menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya
adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk
menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian. Tanpa
sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat
tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya.
Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah
contradictio in terminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang
mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya,
yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak
mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang
diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang terjadi dengan berlakunya
perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini.
Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas. Dalam melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses (kalusul eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum (public interest).
Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas. Dalam melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses (kalusul eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum (public interest).
Dari keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak
ada kebebasan berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang
suatu kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan
masyarakat. Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang
selama ini dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan
diatas ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang
sebelumnya tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang
datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku
pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan (legislature)
terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya
perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhan bisnis.
Di Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan
negara yang merupakan campur tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh
para pihak. Sebagai contoh yang paling dikenal adalah yang menyangkut hubungan
antara buruh dan majikan/pengusaha.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk emmbatsai bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk emmbatsai bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang
berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan
terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya
perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
1. Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3.
NBW Belanda
Isi ketentuan
itu adalah sebagai berikut :
Bidang-bidang
usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan.
Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang. Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara. Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.
Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang. Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara. Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.
Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
2. Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22
prinsip UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract).
Prinsip
UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak
pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip
kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah.
Pasal 2.19
Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Apabila salah
satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku
aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20 –
pasal 2.22. Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan
terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu
pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
a. Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
b. Pengertian kontrak baku.
3. Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT
menentukan sebagai berikut :
Suatu persyaratan
dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan
oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas
menerimanya. Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti
tersebut diatas akan bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4. Pasal 2.21 berbunyi :dalam hal
timbul suatu pertentangan antara persyaratan-persyaratan standar dan tidak
standar, persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.
5. Pasal 2.22
Jika kedua belah
pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan,
kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan
berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan
persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali
suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan
untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan
untuk terikat dengan kontrak tersebut.
6. UU No 10 Tahun 1988 tentang
Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
7. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
Dengan telah dikeluarkannya
peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku
merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan
oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak
baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang
berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku
dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
Macam-Macam Perjanjian
Macam-macam perjanjian obligator ialah sebagai
berikut:
Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran
Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran
Berdasarkan Subjeknya
·
Perjanjian
antarnegara yang dilakukan oleh banyak negara yang merupakan subjek hukum
internasional.
·
Perjanjian
internasional antara negara dan subjek hukum internasional lainnya.
·
Perjanjian
antarsesama subjek hukum internasional selain negara, yaitu organisasi
internasional organisasi internasional lainnya.
Contoh :
·
Perjanjian
antar organisasi internasional Tahta suci (Vatikan) dengan organisasi MEE.
·
Kerjasama ASEAN
dan MEE.
4. Berdasarkan Pihak-pihak yang Terlibat.
·
Perjanjian
bilateral, adalah perjanjian yang diadakan oleh dua pihak. Bersifat khusus
(treaty contact) karena hanya mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan
kedua negara saja. Perjanjian ini bersifat tertutup, yaitu menutup kemungkinan
bagi pihak lain untuk turut dalam perjanjian tersebut.
·
Perjanjian
Multilateral, adalah perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak, tidak hanya
mengatur kepentingan pihak yang terlibat dalam perjanjian, tetapi juga mengatur
hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan bersifat terbuka yaitu memberi
kesempatan bagi negara lain untuk turut serta dalam perjanjian tersebut,
sehingga perjanjian ini sering disebut law making treaties.
Contoh :
·
Perjanjian
antara Indonesia dengan Filipina tentang pemberantasan dan penyelundupan dan
bajak laut, perjanjian Indonesia dengan RRC pada tahun 1955 tentang dwi
kewarganegaraan, perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura yang
ditandatangani pada tanggal 27 April 2007 di Tampaksiring, Bali.
·
Konvensi hukum
laut tahun 1958 (tentang Laut teritorial, Zona Bersebelahan, Zona Ekonomi
Esklusif, dan Landas Benua), konvensi Wina tahun 1961 (tentang hubungan
diplomatik) dan konvensi Jenewa tahun 1949 (tentang perlindungan korban
perang).
·
Konvensi hukum
laut (tahun 1958), Konvensi Wina (tahun 1961) tentang hubungan diplomatik,
konvensi Jenewa (tahun 1949) tentang Perlindungan Korban Perang.
5. Berdasarkan Fungsinya
·
Law Making
Treaties / perjanjian yang membentuk hukum, adalah suatu perjanjian yang
meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat
internasional secara keseluruhan (bersifat multilateral).
·
Treaty contract
/ perjanjian yang bersifat khusus, adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan
kewajiban, yang hanya mengikat bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian
saja (perjanjian bilateral).
Contoh :
Perjanjian Indonesia dan RRC tentang
dwikewarganegaraan, akibat-akibat yang timbul dalam perjanjian tersebut hanya
mengikat dua negara saja yaitu Indonesia dan RRC.
Perjanjian internasional menjadi hukum terpenting bagi
hukum internasional positif, karena lebih menjamin kepastian hukum. Di dalam
perjanjian internasional diatur juga hal-hal yang menyangkut hak dan kewajiban
antara subjek-subjek hukum internasional (antarnegara). Kedudukan perjanjian
internasional dianggap sangat penting karena ada beberapa alasan, diantaranya
sebagai berikut :
1. Perjanjian internasional lebih menjamin kepastian
hukum, sebab perjanjian internasional diadakan secara tertulis.
2. Perjanjian internasional mengatur masalah-masalah kepentingan bersama diantara para subjek hukum internasional.
2. Perjanjian internasional mengatur masalah-masalah kepentingan bersama diantara para subjek hukum internasional.
Syarat Sahnya Perjanjian
Seperti yang dijelaskan pada seri
sebelumnya bahwa setiap orang/badan hukum bebas melakukan perjanjian dengan
siapapun tentang hal apapun (asas kebebasan berkontrak) dan perjanjian yang
dibuat tersebut akan mengikat mereka yang membuatnya (asas kepastian hukum).
Walaupun demikian, sebebas apapun mereka membuat perjanjian tentunya ada
syarat-syarat yang harus dipenuhi agar perjanjian yang dibuat tersebut sah di
mata hukum. Adapun syarat-syarat tersebut seperti yang diatur dalam KUHPerdata
Pasal 1320, adalah: (1) Ada kesepakatan dari mereka yang
mengikatkan dirinya; (2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
(3) Mengenai suatu hal tertentu; dan (4) Suatu sebab yang
halal/legal.
Kedua syarat pertama disebut juga
dengan syarat subyektif dimana apabila dilanggar maka perjanjian
tersebut dapat dibatalkan (dimintakan pembatalannya kepada hakim melalui pengadilan).
Sedangkan kedua syarat terakhir disebut dengan syarat objektif dimana apabila
dilanggar maka perjanjian tersebut batal demi hukum (batal dengan sendirinya).
Kesepakatan.
Kesepakatan merupakan suatu proses dalam rangka mendapatkan titik temu dari dua
kepentingan yang berlawanan. Proses ini umumnya diawali dengan
pemberitahuan tentang maksud oleh satu pihak kepada pihak yang lainnya
(intent), kemudian pihak lainnya akan membalas dengan
mengajukan penawaran (offer). Apabila penawaran tersebut
disetujui maka pihak yang ditujuh penwaran tersebut akan menerimanya
(acceptance). Proses kesepakatan ini harus dilakukan secara bebas tanpa
adanya kekhilafan atau paksaan,
ataupun penipuan (Lihat KUHPerdata Pasal 1321).
Apabila sebaliknya terjadi dimana suatu kesepakatan diberikan secara
tidak bebas maka kesepakatan itu menjadi tidak sah dan perjanjiannya
menjadi dapat dibatalkan (tidak terpenuhi syarat subjektif).
Kecakapan.
Sehubungan dengan syarat kecakapan ini, undang-undang (KUHPerdata
Pasal 1329) beranggapan bahwa pada dasarnya setiap orang adalah cakap
untuk membuat perjanjian kecuali ia oleh undang-undang dinyatakan tidak
cakap (general legal presumption) . Mengenai ketidakcakapan
ini KUHPerdata Pasal 1330 menyatakan bahwa orang yang tidak cakap
untuk membuat suatu perjanjian adalah “orang-orang yang belum dewasa,
mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, perempuan yang telah kawin dalam
hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang-orang yang telah
dilarang oleh undang-undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu“.
Selanjutnya sesuai KUHPerdata Pasal 330, yang dimaksudkan dengan
orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai usia 21 tahun dan
tidak kawin sebelumnya. Berdasarkan pengertian ini maka apabila seorang yang
belum berusia 21 tahun menikah maka ia dinyatakan telah dewasa, begitu juga
apabila ia bercerai pada usia belum genap 21 tahun maka ia tetap dinyatakan
telah dewasa. Sedangkan yang masuk dalam golongan orang-orang ditempatkan dalam
pengampuan sesuai KUHPerdata Pasal 433 adalah setiap
orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap,
sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh
juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosannya. Mengenai
ketidakcakapan perempuan yang telah kawin dapat dilihat pada KUHPerdata
Pasal 108 yang berbunyi ” Sang istri, sekalipun dia kawin di luar
harta bersama, atau dengan harta benda terpisah, tidak dapat menghibahkan,
memindahtangankan, menggadaikan, memperoleh apa pun, baik secara cuma-cuma
maupun dengan beban, tanpa bantuan suami dalam akta atau izin tertulis.
Sekalipun suami telah memberi kuasa kepada istrinya untuk membuat akta atau
perjanjian tertentu, si istri tidaklah berwenang untuk menerima pembayaran apa
pun, atau memberi pembebasan untuk itu tanpa izin tegas dari suami” dan Pasal
110 yang berbunyi “Istri tidak boleh tampil dalam pengadilan tanpa
bantuan suaminya, meskipun dia kawin tidak dengan harta bersama, atau dengan
harta terpisah, atau meskipun dia secara mandiri menjalankan pekerjaan bebas”.
Akan tetapi berdasar Surat Edaran MA No. 3 tahun 1961 kedua
pasal tersebut tidak berlaku lagi. Dengan demikian maka perempuan yang telah
kawin tidak lagi masuk dalam kategori orang yang tidak cakap dalam membuat
Perjanjian.
Suatu hal tertentu. Yang
dimaksud dengan suatu hal tertentu di sini adalah merupakan
objek dari suatu perjanjian atau yang disebut juga dengan prestasi.
Menurut KUHPerdata Pasal 1332, hanya barang yang dapat
diperdagangkan saja yang dapat menjadi objek perjanjian. SelanjutnyaKUHPerdata
Pasal 1333 menyatakan bahwa suatu perjanjian harus
mempunyai objek berupa suatu barang yang paling sedikit dapat
ditentukan jenisnya. Jumlah barang tersebut tidak perlu pasti, asal saja jumlah
itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Selain itu, terkait dengan barang
yang menjadi objek perjanjian ini, KUHPerdata Pasal 1334 menyatakan
bahwa barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok
suatu Perjanjian. Akan tetapi seseorang tidak diperkenankan untuk metepaskan
suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk menentukan suatu syarat dalam
perjanjian mengenai warisan itu, sekalipun dengan persetujuan orang yang akan
meninggalkan warisan yang menjadi objek perjanjian itu.
Sebab yang halal. Penjabaran
mengenai sebab yang halal dapat dijumpai dalam KUHPerdata Pasal 1337 yang
menyatakan bahwa suatu sebab adalah tidak halal, jika sebab itu dilarang
oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau
dengan ketertiban umum.
Saat Lahirnya
Perjanjian
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan
atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan
undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum
untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain,
dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah
mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua
belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi
yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak
melakukan suatu perbuatan.
** Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4
syarat:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan
diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu pokok persoalan tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Dua syarat pertama disebut juga
dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat
disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur
pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat
dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal
tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut
adalah batal demi hukum.
Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa
yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang
menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau
undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus
dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas
dimasukkan di dalamnya.
Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang,
perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran
(offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik
itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Walaupun
kemudian mungkin yang bersangkutan tidak membuka surat itu, adalah menjadi
tanggungannya sendiri. Sepantasnyalah yang bersangkutan membaca surat-surat
yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, karena perjanjian sudah
lahir. Perjanjian yang sudah lahir tidak dapat ditarik kembali tanpa izin pihak
lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian adalah penting untuk diketahui dan
ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau
peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian tersebut, misalnya dalam
pelaksanaannya atau masalah beralihnya suatu risiko dalam suatu peijanjian jual
beli.
Perjanjian harus ada kata sepakat kedua
belah pihak karena perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak.
Perjanjian adalah perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan adanya
kata sepakat antara dua orang atau lebih, jadi merupakan persetujuan. Keharusan
adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas
konsensualisme. asas ini adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang
timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat.
Syarat pertama di atas menunjukkan kata
sepakat, maka dengan kata-kata itu perjanjian sudah sah mengenai hal-hal yang
diperjanjikan. Untuk membuktikan kata sepakat ada kalanya dibuat akte baik
autentik maupun tidak, tetapi tanpa itupun sebetulnya sudah terjadi perjanjian,
hanya saja perjanjian yang dibuat dengan akte autentik telah memenuhi
persyaratan formil.
Subyek hukum atau
pribadi yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian atau wali/kuasa hukumnya pada
saat terjadinya perjanjian dengan kata sepakat itu dikenal dengan asas
kepribadian. Dalam praktek, para pihak tersebut lebih sering
disebut sebagai debitur dan kreditur. Debitur adalah yang berhutang atau yang
berkewajiban mengembalikan, atau menyerahkan, atau melakukan sesuatu, atau
tidak melakukan sesuatu. Sedangkan kreditur adalah pihak yang berhak menagih
atau meminta kembali barang, atau menuntut sesuatu untuk dilaksanakan atau
tidak dilaksanakan.
Berdasarkan kesepakatan pula, bahwa
perjanjian itu dimungkinkan tidak hanya mengikat diri dari orang yang melakukan
perjanjian saja tetapi juga mengikat orang lain atau pihak ketiga, perjanjian
garansi termasuk perjanjian yang mengikat pihak ketiga .
Causa dalam hukum perjanjian adalah isi
dan tujuan suatu perjanjian yang menyebabkan adanya perjanjian itu. Berangkat
dari causa ini maka yang harus diperhatikan adalah apa yang menjadi isi dan
tujuan sehingga perjanjian tersebut dapat dinyatakan sah. Yang dimaksud dengan
causa dalam hukum perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Pada saat
terjadinya kesepakatan untuk menyerahkan suatu barang, maka barang yang akan
diserahkan itu harus halal, atau perbuatan yang dijanjikan untuk dilakukan itu
harus halal. Jadi setiap perjanjian pasti mempunyai causa, dan causa tersebut
haruslah halal. Jika causanya palsu maka persetujuan itu tidak mempunyai
kekuatan. Isi perjanjian yang dilarang atau bertentangan dengan undang-undang
atau dengan kata lain tidak halal, dapat dilacak dari peraturan
perundang-undangan, yang biasanya berupa pelanggaran atau kejahatan yang
merugikan pihak lain sehingga bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana.
Adapun isi perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan cukap sukar
ditentukan, sebab hal ini berkaitan dengan kebiasaan suatu masyarakat sedangkan
masing-masing kelompok masyarakat mempunyai tata tertib kesusilaan yang
berbeda-beda.
**Secara mendasar perjanjian dibedakan menurut sifat yaitu :
1. Perjanjian Konsensuil adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para
pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya perjanjian.
2. Perjanjian Riil adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang
menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.
3. Perjanjian Formil adalah perjanjian di samping sepakat juga penuangan dalam
suatu bentuk atau disertai formalitas tertentu.
Pembatalan dan Pelaksanaan suatu Perjanjian
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat
perjanjian atau pun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah
satu pihak biasanya terjadi karena:
- Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
- Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
- Terkait resolusi atau perintah pengadilan
- Terlibat hukum
- Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan atau wewenang dalam melaksankan perjanjian
Pelaksanaan perjanjian
- Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
- Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
- Terkait resolusi atau perintah pengadilan
- Terlibat hukum
- Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan atau wewenang dalam melaksankan perjanjian
Pelaksanaan perjanjian
Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus harus megindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
Sumber :
Wikipedia.com,macam-macam-perjanjian-internasional.html
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/hukum-perjanjian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar